Tribratanews Polres Probolinggo | Pada upacara Karo Sodoran disimbolkan dengan bergandengan tangan dua ratu, yaitu Kepala Desa Ngadisari dan Kepala Desa Wonotoro. Upacara tradisional masyarakat Tengger di Lereng Gunung Bromo ini memiliki makna mempererat tali persaudaraan dan semangat persatuan.
Selasa 28/08 pagi, atau Panglong Satu -penanggalan Tengger- ketika kabut masih menyelimuti lereng Gunung Bromo, warga Desa Wonotoro, Desa Ngadisari, dan Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, sudah berdandan. Mereka bersiap merayakan upacara Karo Sodoran di Balai Desa Wonotoro.
Sekitar pukul 10.00, para pria dari desa-desa itu dengan mengenakan beskap dan udeng di kepala, mereka bergerak ke Balai desa Wonotoro bersama-sama. Rombongan tiap desa dipimpin oleh kepala desa masing-masing, yang oleh warga sekitar disebut dengan ratu.
Setiba di balai desa, mereka duduk saling berhadapan, seperti halnya sebuah resepsi. Sementara masing-masing kepala desa duduk di depan bersangdingan. Upacara Karo Sodoran pun dimulai.
Upacara diawali dengan pembagian tugas. Setelah itu, masing- masing perwakilan desa maju ke depan dan memprosesikan klontongan, jimat pemersatu. Klontongan terdiri dari tanduk banteng, tombak, kendi, belanga, siwur (gayung), dan air suci. Sementara alunan gamelan pelog terus mengiringi upacara sakral ini.
Upacara Sodoran ini mencapai klimaknya dengan turunnya para ratu ke tengah arena. Dengan diiringi senopati masing-masing, para ratu saling berhadapan dan kemudian bergandengan tangan. Sebuah simbol persatuan. Segenap warga pun bertepuk tangan.
Tak lama berselang, serombongan perempuan berkebaya pun masuk ruangan dengan rantang berisi makanan di tangan. Kegembiraan pun mencapai klimaksnya. Seluruh isi ruangan pun bersantap bersama-sama.